2021: Universitas Indonesia

Ah...

Sejujurnya aku tidak ingin menjelaskan apa pun kepada khalayak.

Jika ada yang berubah dari diriku, selama aku di IPB, bisa jadi adalah kepribadianku. Dari ENFJ ke INFP.

Entahlah. Rasanya rumit. Aku yang dulu ceria, seperti kobaran api, tetiba padam menghitam seperti arang.

Aku pindah ke UI. Dari IPB.

Bukan, ini bukan tentang mengejar kampus dengan sebutan "Top 3..". Siapa pula yang berani mengatakan IPB kampus jelek?

Bukan, ini bukan tentang mengejar gengsi dan kemudahan mencari pekerjaan nantinya... Siapa yang berani bertaruh kalau IPB tidak menghasilkan sumber daya manusia yang mumpuni?

Tapi, sebelum aku melanjutkan tulisan ini...

Aku pikir, orang-orang tidak harus tahu ALASAN SEBENARNYA AKU PINDAH.

Aku pikir, aku TIDAK PERLU MEMBUAT ORANG PAHAM DENGAN KEADAAN DAN KONDISI yang aku hadapi selama di IPB.

Aku pikir, aku TIDAK HARUS MENCERITAKAN RIWAYAT HIDUP ATAU PUN LEGASI YANG AYAHKU TINGGALKAN kepada siapa pun.

Aku pikir, jikalau pun AKU MENJELASKANNYA, ORANG-ORANG TIDAK AKAN PERNAH SEPENUHNYA PAHAM.

Aku pikir, dan memang seharusnya, AKU TIDAK PERLU MEMUSINGKAN APA KATA ORANG, YANG SAYANGNYA HAL INI TERLALU MEMPENGARUHIKU SEJAK LAMA. BAHKAN SEBELUM MASUK SMA.

Aku pikir, seberapa jelas pun aku menjelaskannya, ORANG YANG MENYUKAIKU AKAN MENERIMANYA PADA KALIMAT PERTAMA, DAN ORANG YANG TIDAK MENYUKAIKU TIDAK AKAN MENERIMANYA PADA KALIMAT KE SEKIAN JUTA.

Aku pikir, seharusnya aku tidak menulis ini...

Tapi, sayangnya, yang menusukku selalu saja orang yang kusayang. 

Ah, terlalu jahat dengan kata menusuk. Lebih sopannya, kurang mendukung.

Aku selalu bertanya-tanya, apa jadinya kalau ayah masih ada?

Apa jadinya jika aku tidak masuk IPA?

Apa jadinya jika waktu SMP dulu tidak pesantren?

Apa jadinya jika aku menulikan telingaku dari komentar orang-orang?

Mungkin saja, aku sudah...


Ah, tidak perlu berandai-andai.

Sejauh langkah yang kupijak, aku tidak menemukan kekecewaan yang terlalu besar. Entahlah. Sefutur apa pun diri ini, aku selalu percaya ada Allah yang menemani.

YA, dan memang IYA, keputusanku keluar dari IPB, bisa jadi adalah KEPUTUSAN TERBESAR YANG PERNAH KUBUAT selama 20 tahun hidupku.

Klise bagi sebagian orang.

Siapa yang berani mengatakan Biologi murni tidak berprospek bagus?

Apakah tidak keren, memakai jas laboratorium sembari meneliti mikroba-mikroba dengan sederet mikroskop canggih, alat PCR, beserta segudang perhitungannya?

Ah, keren sekali.

Tapi, kawanku, saudaraku, keluargaku tercinta.

Biarkanlah aku terbang dengan sayapku sendiri kali ini.

Tubuhku mungkin kecil, namun kenalilah aku, aku sudah dewasa.

Aku tahu apa yang aku mau.

Aku tahu apa yang aku ingin raih.

Aku tahu aku ingin menjadi apa.

Aku tahu aku ingin dikenang sebagai siapa.

Maka, dengan segala pengalaman yang Allah beri...

Lepaskanlah.

Biarkan aku mengarungi samudera keputusanku sendiri.

Siapa juga yang berani menolak UI? kecuali kalau ada Oxford dan Cambridge gantinya.

Jakunku kini.. ah mungkin sebagian tidak tahu apa itu jakun. Ya, jaket kuning. Almamater UI.

Jakunku itu kini terlipat rapi di atas sofa. Masih di bungkus plastik bening, lengkap dengan makara putih serta emblem UI 2021 yang belum kujahit.

Kini aku resmi menjadi bagian dari kampus yang mengemban nama bangsa ini.

Aku tahu. Ini tidak mudah.

Jurusan yang aku pilih di UI ini, bukan asal. Sungguh, aku dengan penuh kesadaran mengambilnya. Aku menempatkannya di pilihan 1 SBMPTN 2021. Bagi sebagian orang mungkin terdengar "gampang" atau "gak penting" tapi ketahuilah ini yang aku kejar sejak kecil, ternyata. 

Ah, kenapa harus kujelaskan. Aku kan sudah bilang tidak akan menjelaskan.

Aku sendiri tidak tahu, aku masih meraba-raba, apakah ini keputusan yang terbaik? Apakah ini yang bisa aku jadikan pijakan? Apakah aku bisa lebih survive dibanding di Biologi?

Bisa jadi, -semoga tidak- aku menyesal juga.

Ah, jika kau teman SDku, teman MTsku, teman SMAku, engkau mungkin tahu aku orang seperti apa. Mungkin sebagian orang jelas akan kaget dengan keputusan ini. Hei, biarlah kalian lulus lebih dulu, kerja lebih dulu, atau kelak menikah lebih dulu. Aku justru senang, diberi waktu yang lamaaaa untuk belajar di bangku kuliah.

Toh, kita tidak sedang berlomba dalam hal duniawi kan? Allah bilang, kita berlomba dalam kebaikan. Ya, urusan akhirat saja kita berlombanya.

Aku sendiri menikmati perjalanan ini..

Aku meraba-raba skenario-Nya, ke laut mana aku akan berlayar? Ke pulau mana aku akan berlabuh?

Se indah apa pulau yang akan aku datangi, sehingga aku harus mengalami ---menjadi yatim-miskin-pindah tempat tinggal puluhan kali-dibully karena pendek-salah jurusan di SMA-gagal beasiswa ke Jerman, Malaysia dan Turki-Gap year-tabungan kurban dicuri h-2 Idul Adha-menderita salah jurusan di IPB-lalu diterima di Prodi Arab UI---? 

Meski begitu..

Aku berterima kasih.

Allah, terima kasih untuk semuanya.

Didiklah aku dengan cara-Mu, bimbing, temani, bantu dan lindungi.

Aku tidak kecewa dengan apa pun.

Terima kasih satu tahunnya, IPB. 

Terima kasih untuk semua kenangan yang terlukis, dalam keadaan pandemi yang mencekam.

Terkhusus, LPQ Al Hurriyyah 1442, Departemen Tahsin, ST02, dan Writing Club.


Dan,

selamat datang,

kehidupan terjal yang akan aku hadapi sebagai mahasiswa UI, 3.5 tahun ke depan, InsyaaAllah.


Terima kasih sudah membaca sampai sini, kawan. Semoga, ada hikmah yang bisa kau petik. 


Salam hangat,

Aifa Humaira Akmalia.





Eksternal:

Part 1 tentang PTN: Part 1

Ke Malaysia: Malaysia

Tentang MUN: MUN

Ertuğrul: Part 1 dan Part 2

























Komentar

Postingan Populer